Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

cerita asal usul Asal Usul Tari Guel dari Aceh Bahasa Indonesia Dan bahasa Inggris

cerita asal usul Asal Usul Tari Guel dari Aceh Bahasa Indonesia
Tari guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Aceh. Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri.

Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang mereka putus. Sekuat tenaga mereka mengejar layang-layang ter­sebut. Mere­ka lupa bahwa pada saat itu me­reka sedang menggembala itik, hingga itiknya pun pergi entah ke mana.

Setelah gagal menemukan layang-layang mereka, barulah mereka teringat akan itik-itik mereka. Tetapi malang, itik-itik itu tak lagi nampak. Mereka pun pulang dengan ketakutan akan mendapat marah dari orangtua mereka.

Benar juga apa yang mereka pikir­kan. Setiba di rumah, mereka dimarahi ayah mereka. Mereka juga disuruh mencari itik-itik itu, dan tak diizinkan kembali sebelum itik-itik yang hilang itu ditemukan kembali.

Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik mereka, tapi tak membawa hasil hingga akhirnya mere­ka tiba di Kampung Serule. Dengan tubuh yang lunglai mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar dan tertidur lelap. Pagi hari­­nya mereka ditemukan oleh orang kam­pung dan dibawa menghadap ke istana Raja Serule. Di luar dugaan, mereka malah di­angkat anak oleh baginda raja.

Beberapa waktu berlalu, rakyat Seru­le hidup makmur, aman, dan sentosa. Hal ini di­karenakan oleh kesaktian kedua anak tersebut. Kemakmuran rakyat Serule itu mem­­buat Raja Linge iri dan gusar, se­hing­ga meng­­ancam akan membunuh kedua anak ter­sebut. Malang bagi Muria, ia ber­hasil di­­bunuh dan di­makamkan di tepi Sungai Samarkilang, Aceh Tenggara.

Pada suatu saat, raja-raja kecil ber­kumpul di istana Sultan Aceh di Kutaraja. Raja-raja kecil itu mempersembahkan cap usur, semacam upeti kepada Sultan Aceh. Saat itu, Cik Serule datang bersama Sangede. Saat itu, Raja Linge juga hadir. Saat Raja Serule masuk ke istana, Sangede menung­gu di halaman istana.

Sambil menunggu ayah angkatnya, Sa­­ngede menggambar seekor gajah yang ber­warna putih. Rupanya lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri Sultan yang ke­mu­di­an meminta Sultan mencarikan se­ekor ga­jah putih seperti yang digambar oleh Sangede.

Sangede kemudian menceritakan bah­wa gajah putih itu berada di daerah Gayo, pa­dahal dia sebenarnya belum per­nah me­­­­lihatnya. Maka, saat itu juga Sultan me­me­rintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap gajah putih tersebut gu­na dipersembahkan kepada Sultan. Raja Se­ru­le dan Raja Linge benar-benar kebi­ngu­ng­­an, bagaimana mungkin mencari se­suatu yang belum pernah dilihatnya.

Sangede menyesal karena bercerita bahwa gajah putih itu ada di Gayo hingga ayah angkatnya mendapat tugas mencari­nya. Dalam kebingungan itu, suatu malam Sangede bermimpi bertemu dengan Muria yang memberitahu bahwa gajah putih itu berada di Samarkilang, dan sebenarnya ga­jah putih itu adalah dirinya yang menjel­ma saat dibunuh oleh Raja Linge.

Pagi harinya, Sangede dan Raja Seru­le yang bergelar Muyang Kaya pergi ke Sa­mar­kilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga, setelah beberapa sa­­at mencari, mereka berdua menemukan ga­­jah putih itu sedang berkubang di ping­gir­­an sungai.

Sangede dan Raja Serule Muyang Kaya kemudian dengan hati-hati mengena­kan tali di tubuh gajah yang nampak pe­nurut itu. Tetapi saat akan dihela, gajah pu­tih itu lari sekuat tenaga. Raja Serule dan Sa­­ngede tak mampu menahannya. Mereka ha­nya bisa mengejarnya hingga suatu saat ga­j­ah itu berhenti di dekat kuburan Muria di Samarkilang.

Anehnya, gajah putih itu berhenti se­perti sebongkah batu. Tak bergerak sedikit pun meski Sangede dan Raja Serule men­coba menghelanya. Berbagai cara dicoba oleh Sangede agar gajah putih itu mau beranjak dan menuruti perintahnya untuk diajak pergi ke istana Kutaraja. Tetapi, se­mua­nya sia-sia.

Sangede kehabisan akal. Akhirnya, dia bernyanyi-nyanyi untuk menarik perhatian gajah putih. Sambil bernyanyi, Sangede meliuk-liukkan tubuhnya. Raja Serule ikut-ikutan menari bersama Sangede di depan gajah putih agar mau bangkit dan menuruti perintahnya. Di luar dugaan, gajah putih itu ter­tarik juga oleh gerakan-gerakan Sa­nge­­de, dan kemudian bangkit. Sangede te­rus menari sambil berjalan agar gajah itu meng­ikuti langkahnya. Akhirnya, gajah itu pun meng­ikuti Sangede yang terus menari hingga ke istana. Tarian itu disebutnya tari­an Guel hingga sekarang.

Sangede menyadari bahwa sesuatu ajakan kepada seseorang atau kepada binatang tidaklah harus dengan cara yang kasar. Dengan sebuah tarian pun akhirnya gajah putih itu menuruti ajakannya.

Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel yang menjadi tari tradisional khas rakyat Gayo.

cerita asal usul Asal Usul Tari Guel dari Aceh dalam english STory:


Guel dance is one of the cultural treasures Gayo in Aceh. Guel means rang. Particularly in the Gayo highlands, this dance has a long and unique story. Researchers and choreographers say this dance is not just a dance. He is a combination of literary arts, music and dance itself.

That said, the dance Guel comes daru two sons Sultan of Johor, Malaysia, named Moriah and his younger brother Segenda. Once, on a day the brothers were told by their parents herding ducks at the waterfront. While herding, to fill the boredom, they fly a kite. At one point, came the strong winds that make the kites they broke up. They desperately chasing the kite. They forget that at that time they were herding ducks, until Itiknya went nowhere.

Having failed to find their kites, then they remembered their ducks. But the poor, the ducks are no longer visible. They went home with the fear gets angry from their parents.

True also what they think. Arriving home, they scolded their father. They were also told to look for the ducks, and not allowed to return before the ducks were missing were recovered.

Days or even months of their journey to find their ducks, but did not bring the results until they arrived at Kampung Serule. With the limp body they headed to a meunasah / hit and fell asleep. The next morning they were found by villagers and taken overlooking the palace of King Serule. Unexpectedly, they instead adopted by the king.

Some time passed, people Serule prosperous, secure, and prosperous. This is because by magic both children. Serule prosperity of the people that made King Linge jealous and angry, threatening to kill both children. Unfortunately for Muria, he was killed and buried on the banks of the River Samarkilang, Aceh Tenggara.

At one point, little kings gathered in the palace of the Sultan of Aceh in Kutaraja. Kings of the small intestine presents cap, a kind of tribute to the Sultan of Aceh. At that time, Cik Serule come together Sangede. At that time, King Linge also present. When King Serule into the palace, Sangede waiting in the courtyard.

While waiting for his adoptive father, Sangede draw a white elephant. Apparently Sangede painting attracts Putri Sultan Sultan then asked to find a white elephant as drawn by Sangede.

Sangede then told that a white elephant that was in the area Gayo, when he in fact had never seen. Then, when it also ordered Raja Sultan and Raja Linge Serule to catch a white elephant to be presented to the Sultan. Raja Raja Linge Serule and totally confused, how to find something that has never seen.

Sangede sorry for telling that the white elephant in the Gayo to his adoptive father got an assignment to look. In the confusion, one night Sangede dreamed of meeting with Muria told that a white elephant was in Samarkilang, and the fact that white elephant is itself incarnate when killed by King Linge.

In the morning, Sangede and King Serule who holds Muyang Kaya went to Samarkilang like in a dream Sangede command. Sure enough, after a while of searching, they both found that white elephant was wallowing at the riverside.

Sangede and King Serule Muyang Rich then carefully wore thongs in the body of the elephant which appeared tractable. But when will be driven, a white elephant was run over backwards. King Serule and Sangede not afford to lose. They were only able to catch up to an elephant when it was stopped near a cemetery Muria in Samarkilang.

Surprisingly, the white elephant it stopped like a stone. Motionless despite Sangede and King Serule try her out. Various ways tested by Sangede so that white elephant refused to leave and follow his orders to be invited to go to the palace Kutaraja. But all in vain.

Sangede wits. Finally, she was singing to attract a white elephant. As he sang, Sangede bend-liukkan body. King Serule bandwagon Sangede dancing together in front of a white elephant to want to get up and obey. Unexpectedly, a white elephant was attracted also by movements Sangede, and then rose. Sangede keep on dancing while walking so that the elephant was following suit. Finally, the elephant started to follow Sangede who danced up to the palace. The dance was called the dance Guel until now.

Sangede realize that something solicitation to any person or to an animal is not to be rude manner. Dance with a white elephant that was eventually obeyed his invitation.

Body movements performed by the King Cik Serule and Segenda it will eventually be vikal ugel dance that became traditional folk dance Gayo.

Lihat bagaimana tari Guel Dari Aceh di video youtube Di bawah Ini :

Posting Komentar untuk "cerita asal usul Asal Usul Tari Guel dari Aceh Bahasa Indonesia Dan bahasa Inggris"